Jumat, 21 Oktober 2016

Sisingamangaraja XII dan 30 Tahun Perang Batak



Sisingamangaraja XII : Lindungilah Bangsaku ini!
Sisingamangaraja XII membangun front dengan Aceh, yang membuat Belanda cemas. Beberapa panglima perang Aceh tewas bersamanya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Baginda memohon Ompu Debata Mulajadi Na Bolon untuk melindungi bangsanya dari musuh yang durhaka.

Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam.
Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.

Sisingamangaraja XII melancarkan perang melawan Belanda selama 30 tahun dan menampik kata damai. Dia memilih lebih baik mati daripada menerima tawaran Belanda yang akan mengangkatnya sebagai Raja Batak dengan gelar sultan. Posisi penting Sisingamangaraja dalam perjuangan pembebasan melawan kolonialisme Belanda ditunjukkan oleh Presiden Soekarno dengan sebuah isyarat nyata.

Pada tahun 1953, dengan menumpang helikopter, Soekarno berkunjung ke Balige. Dalam pidatonya - sebagaimana biasa tentu berkobar-kobar - di depan ribuan pengunjung yang memadati lapangan (kemudian menjadi stadion Balige), Soekarno yang revolusioner namun romantis itu berkata: “Balige ini bagi saya sangat mengesankan. Pertama, karena ia sangat indah. Kedua, di Balige inilah untuk pertama kali orang Batak mencetuskan perang melawan Belanda.”
Dan, masih dari atas podium, Soekarno, setengah bertanya separuh mendesak, berkata mengapa kuburan Sisingamangaraja tidak dipindahkan saja dari Tarutung ke Balige?! Ke kota di mana perang Batak melawan Belanda yang terkenal itu dicanangkan. Makam di Tarutung itu adalah kuburan untuk para tawanan Belanda. Sisingamangaraja tak layak dikebumikan di situ.

Tak tercatat dalam sejarah, tetapi agaknya hadirin, terutama para tokoh Batak terhenyak mendengar kata-kata Soekarno yang menggugah itu. Orang-orang Batak yang terpukau dengan kata-kata Soekarno itu, melalui perundingan yang menelan waktu, sepakat untuk memindahkan tulang-belulang Sisingamangaraja ke Balige.

Setahun kemudian, tanpa kehadiran Soekarno (dia hanya mengirimkan telegram ucapan selamat), prosesi saring-saring, membawa tulang-belulang, Sisingamangaraja XII dari Tarutung menuju Balige berlangsung. Ini Tanah Batak, negeri purba.Yang mistik dan yang nyata bersatu dalam mengusung tulang-tulang sang pahlawan. Boleh percaya boleh tidak! Sejak betolak meninggalkan Tarutung, iring-iringan yang membawa tulang-belulang Sisingamangaraja seperti memperoleh pengawalan dari haba-haba (angin puting beliung). Raja Martahan di Napatar, cucu tertua Sisingamangaraja XII, yang dalam usia 12 tahun turut dalam upacara itu, mengenang, ketika rombongan sudah mendekati Balige, angin puting-beliung berada di depan prosesi, menyapu bersih semua kotoran yang ada di jalan. ”Haba-haba itulah yang menunjukkan tempat yang menjadi makam Sisingamangaraja. Ini fakta, karena saya melihat sendiri kejadian itu,” katanya.

Di kalangan orang Batak, Sisingamangaraja XII adalah kharisma dan sumber inspirasi. Kebijaksanaannya disanjung. Orang menganggapnya sakti, juga kebal, kecuali ternoda darah. Banyak yang percaya, Baginda tewas di ujung peluru pasukan Belanda karena tubuhnya bersimbah darah putrinya yang lebih dulu tertembak.


Pulang dari Aceh

Perjalanan hidup Sisingamangaraja XII menggetarkan. Putra Sisingamangaraja XI dari istrinya Boru Situmorang ini semasa kecil bernama Patuan Bosar, lahir pada tahun 1849 di Bakkara. Dia ditabalkan menjadi Sisingamangaraja XII pada tahun 1875 di Bakkara, huta yang menjadi pusat dinasti Sisingamangaraja. Kala itu, Patuan Bosar masih muda dan baru pulang dari Aceh Keumala mempelajari ketatanegaraan, strategi perang dan bahasa, terutama pengenalan huruf Arab.

Dipercaya, setiap raja dalam dinasti Sisingamangaraja, sejak raja yang pertama, apabila wafat, alam Tanah Batak turut berduka. Musim kemarau yang panjang menyapu seluruh daratan, menyengsarakan seluruh lahan pertanian. Dan, tentu saja membikin sengsara penduduk yang kehilangan seorang raja. Karena itu, Sisingamangaraja yang baru harus ditabalkan. Yang akan diangkat harus menjalani ujian, termasuk kemampuan mendatangkan hujan, mencabut senjata pusaka Piso Gaja Dompak sambil manortor dan dengan kesatria menyarungkannya kembali dengan mulus. Juga menjinakkan kuda putih yang akan digunakan sebagai tunggangan resmi seorang raja. 

Alam yang tersiksa, itulah yang menerjang Tanah Batak setelah wafatnya Sisingamangaraja XI. Patuan Bosar sebenarnya enggan untuk mengikuti ujian, karena segan pada abangnya, Raja Parlopuk, yang dengan baik telah menjalankan roda pemerintahan kerajaan selama amang mereka, Sisingamangaraja XI, sakit-sakitan. Lagipula, dia ingin melanjutkan pelajarannya di Aceh. Tetapi, apapun, seorang raja baru harus diangkat. Upacara penabalan diselenggarakan oleh Si Onom Ompu (Si Enam Marga) - terdiri dari Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanulang, Marbun dan Simamora - untuk mempersiapkan upacara margondang. Calon raja kemudian memohon kesiadaan pargonsi (penabuh gondang) untuk memainkan gondang agar dia bisa berdoa memohon turunnya hujan. Dia pun manortor. Biasanya, walaupun matahari panas mendenting, kekuatan “gaib” putra raja yang sedang manortor bisa membuat langit mendung dan hujan pun turun. Si Onom Ompu lalu menyambut hujan itu dengan seruan Horas! Horas! Horas!

Lantas Si Onom Ompu mengumumkan raja baru sudah ditemukan. Prosesi berikut adalah mencabut dan menyarungkan Piso Gaja Dompak dengan mulus. Piso ini adalah salah satu warisan dari Raja Uti, Raja Hatorusan yang sakti di Barus, pusat peradaban ketika itu. Raja yang baru terpilih kemudian tampil dengan mengenakan Ulos Jogia Sopipot sambil mengangkat pinggan pasu bertabur beras yang sudah di-pasu-pasu (diberkati) beralaskan Ulos Sande Huliman.

Ketika menempuh ujian tersebut, Raja Parlopuk memang berhasil mengundang mendung dan hujan gerimis. Tetapi, kesaktian Patuan Bosar melebihinya. Tonggo-nya, doanya, mampu mendatangkan mendung yang lebih tebal disertai hujan lebat dan petir yang mengguntur. Maka jadilah dia Sisingamangaraja XII, raja yang kemudian memimpin perang Batak selama 30 tahun (1878-1907).

Perang Batak adalah duka dengan cerita panjang. Perang yang memakan waktu lebih dari satu generasi itu dimulai dengan pertikaian antara Raja Pontas dengan bius-bius (kumpulan marga-marga) di Silindung. Mereka memprotes kelakuan Raja Pontas, salah seorang pemimpin bius, yang memberikan hak guna tanah kepada Belanda. Dengan hak guna itu, pada tahun 1876, dengan licik dan cepat Belanda bisa menguasai Silindung.

Sebelum Belanda menyerang Balige, Raja Pontas sempat bertemu dengan Sisingamangaraja XII. Ketika itu Baginda langsung mempertanyakan sikap Raja Pontas yang menguntungkan Belanda tersebut. Namun, tak dinyana, di belakang Raja Pontas, pasukan Belanda sudah bersiap-siap melakukan penyerangan. Belanda menguasai basis logistik Toba-Balige bulan Mei 1878 sebagai reaksi terhadap pernyataan perang (pulas)yang dicanangkan oleh pemuka-pemuka bius pada tahun 1877 di Balige saat berlangsungnya onan, pasar tradisional di situ.


Mata-mata Belanda

Pada Februari 1878, sebenarnya perang sudah pecah sebelum Belanda tiba di Balige. Hadangan pasukan raja-raja ihutan (panutan) dari Toba beserta pasukan gabungan berbagai bius, berhasil menahan gerak maju pasukan militer Belanda di Bahal Batu. Serangan ini sudah berada di bawah kendali Sisingamangaraja XII dari Bakkara.

Sejak saat itu, pertumpahan darah tak dapat dihindarkan lagi. Pertempuran demi pertempuran terus bekecamuk. Raja Partahan Bosi Hutapea, raja ihutan dari Toba, tewas tahun 1879 di Si Raja Daeng, Laguboti. Sementara itu, dalam sebuah perlawanan yang sengit, Guru Sumillam Tampubolon, salah seorang panglima perang Sisingamangajara, tahun 1881 gugur di desa Lumban Julu. Anaknya, Sarbut Tampubolon, berhasil meloloskan diri. Tampubolon kemudian sering mengadakan kontak dengan Sisingamangaraja XII.

Serangan pertama Belanda terhadap pusat dinasti Sisingamngaaja XII di Bakkara berlangsung 30 April 1878. Bangunan-bangunan berciri khas arsitektur Batak dan bernilai artistik tinggi dihancurkan. Bangunan itu umumnya dihiasi seni ukir klasik (gorga) bermotif Perbaringin, agama Sisingamangaraja.

Vandalisme kuno Belanda ini antara lain terjadi di Lumban Raja dan Onan Bale, yang terletak dalam kompleks kerajaan Sisingamangaraja. Rumah-rumah kerajaan juga dibombardir dan dibakar, termasuk Ruma Bolon, Ruma Parsantian, Sopo Bolon, Tari Sopo, dan Sopo Godang. Juga balai kerajaan, seperti Bale Pasogit, Bale Partangiangan, Patene, dan Bale Bius. Semuanya tinggal puing-puing belaka, tak satu-pun bangunan yang utuh, semua rata dengan tanah. Serangan yang meluluhlantakkan ini adalah kejadian yang kedua kalinya menimpa dinasti Sisingangamaraja setelah gempuran yang dilancarkan kaum Pidori (Perang Padri) tahun 1817.
 
Sisingamangaraja XII terpaksa mengungsi berserta seluruh keluarganya ke kediaman Barita Mopol di Huta Paung, terus menuju Lintong Harianboho. Setahun kemudian, dia baru bisa kembali ke pusat kerajaannya di Bakkara. Membangun kembali di atas puing-puing kerajaan. Dia giat mengadakan pendekatan dengan berbagai bius supaya ikut dalam penyerangan terhadap kedudukan Belanda di Balige.

Serangan dilancarkan pada bulan Juni 1883, dipimpin langsung oleh Baginda Raja. Pasukan rakyat Bona Pasogit berbondong-bondong berkumpul di Uluan untuk membantu serangan. Sayang, rencana serangan ini bocor karena ulah mata-mata Belanda. Ribuan barisan rakyat gugur saat itu. Bahkan, menurut Belanda, Sisingamangaraja XII juga terluka. Baginda Raja mundur ke Bakkara. Haus darah, kurang dari dua bulan kemudian, Belanda kembali menyerbu Bakkara dan kembali membumi-hanguskan pusat kerajaan. Baginda dan keluarganya kembali mengungsi ke Huta Paung, terus menuju Lintong Harianboho. Sampai akhir 1887 pasukan Sisingamangaraja XII masih bertahan di Hutan Paung dan Pollung. Baginda Raja memutuskan untuk menempuh taktik gerilya.

Dalam situasi yang serba darurat, akhirnya Sisingamangaraja XII memutuskan untuk migrasi ke Dairi. Menurut catatan, hampir seribu orang yang turut dalam migrasi yang dipimpin Baginda, yang dibagi dalam beberapa kelompok. Di samping para pejuang dalam rombongan itu, terdapat juga ahli-ahli pertanian, arsitek dan ahli Gorga. Dalam hitungan minggu mereka sampai di negeri Simsim, Dairi, tepatnya di negeri Si Onom Hudon.

Saat keluarga besar Dinasti Bakkara beserta pasukan tiba di pedalaman Dairi, dia tidak langsung diterima oleh masyarakat setempat. Kehidupan mereka begitu sulit. Sementara meminta bantuan ke Silindung dan Toba Balige, yang dikuasai Belanda, sudah tak mungkin. Pada waktu itu, misi zending telah membawa perubahan penting ke dalam kehidupan di Toba. Beberapa pejuang yang tadinya menyokong Sisingamangaraja, kemudian meletakkan senjata dan menerima iman dan hidup baru. Banyak pula mata-mata yang tergiur pada hadiah yang dijanjikan Welsink kalau bisa memberikan info mengenai keberadaan Sisingamangaraja.

Inilah masa paling sulit bagi anggota keluarga dan pasukan Sisingamangaraja. Persediaan makanan juga menipis. Namun, karena semangat mereka yang tinggi, dalam lima tahun mereka sudah berhasil membangun huta yang baru di Pea Raja, lengkap dengan Bale Pasogit, sebagai pusat kerajaan yang baru. Bercocok tanam, beternak dan mendulang emas adalah kegiatan sehari-hari mereka. Di samping latihan perang tentunya. Bahkan mereka berhasil membeli senjata-senjata baru. Di Si Onom Hudon inilah putri Sisingamangaraja XII, Lopian, lahir pada tahun 1889. Putrinya ini mewarisi karisma dan sikap kesatria dari ayahandanya.

Dia memegang peran penting dalam menghimpun dukungan berbagai pihak di tingkat akar rumput. Lopian yang selalu memberi semangat, saat Baginda Raja dan pasukannya dalam keadaan tertekan depresi. Dialah putri yang selalu membesarkan hati Baginda apabila kehilangan anggota keluarga karena tewas dalam pengungsian.


Pengkhianatan ke Sisingamangaraja XII

Menarik untuk dicatat, ketika di Dairi Sisingamangaraja XII didampingi oleh Nyak Muhamad Ben, panglima perang dari Aceh yang menjadi sahabatnya ketika dia masih belajar di Aceh Keumala. Keberadaannya di Aceh dulu, sejalan dengan rencana ayahanda Sisingamangaraja XI, karena Aceh sedang melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Kehadiran para panglima dari Aceh itu dianggap Belanda sebagai usaha untuk membangun front Batak-Aceh, satu fenomena ancaman yang sangat serius.

Perlu diingat, dengan berdiri sendiri, tanpa bantuan pihak lain, Bakkara tak bisa mempertahankan diri dari invasi Padri. Pendekar Aceh terkenal teguh pada pendirian, taat beragama dan melawan terhadap sibontar mata (si mata putih, Belanda). Merekalah yang berperan besar membentuk pasukan sukarela pendukung Sisingamangaraja XII yang dilatih di garis belakang.
 
Tak terbilang berapa jumlah pasukan Aceh yang gugur di berbagai front untuk mempertahankan Sisingamangaraja. Hulubalang-hulubalang Aceh ini jugalah yang melatih dan membentuk pasukan Baginda Raja. Petarung-petarung Aceh ini juga yang memaknai apa artinya kesetian. Mereka begitu teguh pada sumpah bersama Sisingamangaraja XII. Mereka berkaul sampai tumpas pun mereka tidak akan tunduk pada sibontar mata.

Mereka akan tetap bersama Baginda sampai titik darah penghabisan. Adalah Teuku Muhamad Ben, yang terus mendampingi Baginda sejak perang 1878. Teuku Mat Sabang, Teuku Nyak Bantal, Teuku Nyak Imun, Teuku Idris, Teuku Sagala, Teuku Nyak Umar dan masih banyak lagi pejuang laskar Aceh yang hilang tanpa nama dalam mendukung perlawanan Sisingamangaraja XII.

Seandainya sejak awal perang, Raja Batak ini tidak dikhianati oleh orang-orang Batak sendiri, tentu derita yang ditanggungkan oleh Baginda beserta keluarganya itu, tidak perlu terjadi. Mereka tidak harus menyingkir ke Dairi. Ada sejumlah nama yang tercatat sebagai pengkhianat Raja dari Bakkara itu, seperti Partaon Angin, Raja Hutsa (gelar Pardopur), Ompu Onggung, Jonggi Manaor, Simonsi, Kinso, Situnggap. Tiga yang terakhir dibunuh oleh pengawal Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII.

Sebenarnya, dinasti Sisingamangaraja tidak hanya menghadapi musuh dari luar batang tubuh kerajaan, tetapi juga dari dalam. Adalah putra Sisingamangaraja VIII yang bernama Gindoporang Sinambela yang kawin sedarah (incest) dengan putri dari abangnya, Sisingamangaraja IX, bernama Gana Sinambela, sebagaimana dikisahkan MO Parlindungan dalam bukunya yang pernah menyulut polemik, ”Tuanku Rao.”

Karena malu yang disebabkan oleh aib itu, maka Sisingamangaraja IX mengusir mereka. Keduanya misir (melarikan diri) ke Singkil, Aceh. Anak yang tidak diharapkan pun lahir di sana, dan diberi nama Pongkinangolngolan. Nama ini dipilih karena lamanya pasangan tersebut dalam pengasingan. Ketika Sisingamangaraja IX meninggal, dia digantikan oleh putranya yang adalah adik Gana Sinambela. Sisingamangaraja X memanggil Gana Sinambela dan Pongkinangolngolan untuk kembali ke Bakkara setelah mereka berada di pengasingan selama 10 tahun. Namun, kedatangan mereka ditolak oleh tiga datu besar. Datu Amantagor Manullang meramalkan, jika Si Pongki tidak dibunuh maka sebaliknya dialah yang akan menghancurkan dinasti Sisingamangaraja.

Sisingamangaraja tak kuasa menolak nasihat datu tersebut. Namun, dia tak tega membunuh bere-nya (keponakannya) sendiri. Lalu, dia bersandiwara dengan berpura-pura mengikat Si Pongki yang baru berusia 11 tahun itu untuk ditenggelamkan ke Danau Toba. Dia mengikatkan kayu apung di tubuh Si Pongki sembari menyelipkan koin emas ke sakunya sebagai bekal nanti. Sebelum dilepaskan ke Danau, Sisingamangaraja X melonggarkan ikatan yang melilit Si Pongki. Singkat cerita, Si Pongki tidak tenggelam, tetapi terapung dan hanyut sampai ke Sungai Asahan. Dia ditemukan seseorang yang kemudian mangangkatnya sebagai anak.


Memenggal, menancapkan ke tanah

Pada usia 20 tahun, Pongki mengembara ke Mandailing. Dari sini dia menyingkir ke Minangkabau karena merasa ada yang memata-matainya. Di Tanah Minang dia bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Sementara Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan gerakan Mazhab Hambali, meminta kepada Datuk untuk menyerahkan Si Pongki supaya disekolahkan. Apalagi sudah diketahui bahwa Si Pongki adalah keturunan Sisingamangaraja. Si Pongki kemudian dikisahkan masuk Islam, berganti nama menjadi Umar Katab. Dia dikirim ke Mekkah dan Syria untuk menimba ilmu agama. Di sana dia juga mengikuti pendidikan kemiliteran.

Tahun 1815, Umar Katab pulang dari Mekkah dan ditabalkan menjadi Panglima Padri, diberi gelar Tuanku Rao. Dari selatan, pasukan Padri mara ke utara. Serangan Padri terhadap markas Sisingamangaraja dimanfaatkan oleh Jantenggar Siregar sebagai ajang balas dendam terhadap dinasti Sisingamangaraja.

Konon, Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari dinasti Sisingamangaraja, pernah menyerbu pemukiman Marga Siregar di Muara. Dalam perang tanding itu klan Siregar kalah. Raja Porhas Siregar sebagai pemimpin tewas. Sejak saat itu dendam kusumat terus membara pada keturunan Raja Porhas Siregar.

Jatenggar Siregar menyerang Sisingamangaraja X, memenggal kepalanya, menusuk dan menancapkannya ke tanah. Sementara Tuanko Rao hanya berpangku tangan menyaksikan pembantaian terhadap tulangnya itu. Ramalan Datu Bolon Amantogar Manullang menemukan kebenarannya, bahwa Si Pongkinangolngolan akan menghancurkan dinasti Sisingamangaraja.

Tiga puluh tahun memimpin perlawanan terhadap Belanda, Sisingamangaraja XII sendiri wafat melalui jalan kemuliaan. Walau kematiannya didahului oleh ”pengkhiatan terpaksa” yang dilakukan oleh seorang Partaki, kepala huta yang terletak di sebelah selatan Alahan. Desa tersebut diobrak-abrik pasukan Belanda, yang antara lain terdiri dari marsose berasal dari kaum pribumi dari kepulauan Nusantara yang lain. Partaki yang malang itu diusut, disaksa. Tak tahan, orang ini lantas buka mulut dan menunjukkan arah persembunyian Sisingamangaraja XII.

Baginda Raja dan para pengikutnya terjepit di satu tempat, dengan jalan lari satu-satunya hanyalah jurang yang sangat curam dan dalam. Patuan Nagari dan Patuan Anggi, dua putra Baginda memberikan perlawanan dengan melepaskan tembakan. Dalam tembak-menembak itu mereka tewas.

Pasukan Belanda menyerukan Sisingamangaraja agar menyerah. Seruan itu malah berbalas dentuman tembakan. Jelaslah bagi pasukan yang mengejar bahwa Sisingamangaraja XII tak mau menyerah. Dalam pertempuran jarak dekat di ambang malam tanggal 17 Juni 1907 itu, Lopian, putri kesangayangan Baginda tertembak.

Raja Sabidan, putra Sisingamangaraja XII, yang turut dalam pertempuran tersebut, dan kemudian ditawan Belanda, belakangan menceritakan bahwa dia melihat Baginda mendekap dan memeluk Lopian yang bersimbah darah dengan erat-erat. Sabidan bersaksi bahwa dalam keadaan lemah, karena sudah beberapa hari tidak makan, Baginda Raja masih sempat berdoa : ”Ya Ompu Debata Mulajadi Na Bolon, lindunglah bangsaku ini dari tangan musuh yang durhaka,” sebagaimana dikutip dalam ”Toba Na Sae” tulisan penyair Sitor Situmorang. Dalam keadaan Sisingangamaraja bersimbah darah itu muncullah marsose Hamisi, yang berdarah Maluku, melepaskan tembakan tepat menembus jantung Sisingamangaraja XII. Dan Baginda rubuh. Usianya 59.

Di negeri yang bangkit melawan penjajahan ini, agaknya tak ada raja yang patriotik dalam menentang Belanda, yang telah menumpahkan darah dan pengorbanan sebesar Sisingamangaraja XII, di mana seluruh keluarganya ikut boyong dalam perlawanan, dan malahan gugur bersimbah darah.


Asal Usul Sisingamangaraja XII

Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.


Biografi Sisingamangaraja XII

Salah satu pahlawan nasional Indonesia yang gigih berperang melawan penjajah adalah Sisingamangaraja XII. Beliau merupakan pahlawan sekaligus seorang raja dari Toba, Sumatera Utara. Keberadaan beliau membuat penjajah Belanda yang waktu itu berusaha menjajah Indonesia kewalahan. Sebagai seorang raja, beliau tidak mau wilayahnya yang merdeka, subur dan makmur dijadikan kawasan penjajahan yang kehilangan kemerdekaan.

Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda. Sebelumnya ia makamkan di Tarutung, lalu dipindahkan ke Balige, dan terakhir dipindahkan ke Pulau Samosir.

Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.



Makam Sisingamangaraja XII

Kisah Si Raja Batak terakhir ini cukup melegenda, karena keberanian dan kesaktiannya pada saat melawan penjajah Belanda selama 30 tahun. Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di Dairi. Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang nafas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja.
 
Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Sisingamangaraja XII dimakamkan bersisian dengan putra dan putrinya.

Memasuki komplek makam Sisingamarngaraja XII, kita akan menemukan banyak terdapat rumah adat. Suasana yang teduh karena membuat makam ini selalu tampak asri. Karena sesungguhnya kompleks makam ini merupakan Taman Makam Nasional dan dibiayai pemerintah, maka para pengunjug tidak di pungut biaya untuk datang ke lokasi ini. Kita bisa mengunjungi makam ini sambil mengunjungi Museum Batak Balige.

Mungkin sedikit masyarakat yang mengetahui bahwa sesungguhnya Sisingamangaraja XII tidak dimakamkan di Soposurung, melainkan di Tarutung, Presiden Soekarnolah yang berinisiatif memindahkan ke Balige.

Maka pemerintah, masyarakat, dan keluarga kemudian bersepakat memindahkan makam Sisingamangaraja XII ke Soposurung yang dikenal sekarang ini, di sanalah Makam Sisingamangaraja XII Pahlawan Nasional dari Tanah Batak di makamkan.

Makam Sisingamangaraja XII berlokasi di Jalan Siposurung, Kecamatan Balige, Toba Samosir, Sumatera Utara. Tempatnya tidak jauh dari lokasi Museum Batak Belige, jarakya kira-kira 150 meter sebelum lokasi Museum Batak Balige.


Warisan Sejarah

Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.

Selain itu, untuk mengukuhkan jasa beliau sebagai seorang pelawan penjajahan, beliau dianugerahi gelar sebagai seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang ditetapkan melalui SK Presiden RI No 590/1961 tanggal 9 November 1961 bersama dengan beberapa pahlawan lain seperti Oemar Said Tjokroaminoto, Kiai Haji Samanhudi, Setiabudi dan Dr. G.S.S.J. Ratulangi.

(dari berbagai sumber)

Simon RF Siagian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar