Sisingamangaraja XII :
Lindungilah Bangsaku ini!
Sisingamangaraja XII
membangun front dengan Aceh, yang membuat Belanda cemas. Beberapa panglima
perang Aceh tewas bersamanya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Baginda
memohon Ompu Debata Mulajadi Na Bolon untuk melindungi bangsanya dari musuh
yang durhaka.
Sisingamangaraja XII
nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo
Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun
1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon,
selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam.
Penobatan Sisingamangaraja
XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door
policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang
beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte
Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba,
di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya.
Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas
kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk
melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Sisingamangaraja XII
melancarkan perang melawan Belanda selama 30 tahun dan menampik kata damai. Dia
memilih lebih baik mati daripada menerima tawaran Belanda yang akan
mengangkatnya sebagai Raja Batak dengan gelar sultan. Posisi penting
Sisingamangaraja dalam perjuangan pembebasan melawan kolonialisme Belanda
ditunjukkan oleh Presiden Soekarno dengan sebuah isyarat nyata.
Pada tahun 1953, dengan
menumpang helikopter, Soekarno berkunjung ke Balige. Dalam pidatonya -
sebagaimana biasa tentu berkobar-kobar - di depan ribuan pengunjung yang
memadati lapangan (kemudian menjadi stadion Balige), Soekarno yang revolusioner
namun romantis itu berkata: “Balige ini bagi saya sangat mengesankan. Pertama,
karena ia sangat indah. Kedua, di Balige inilah untuk pertama kali orang Batak
mencetuskan perang melawan Belanda.”
Dan, masih dari atas
podium, Soekarno, setengah bertanya separuh mendesak, berkata mengapa kuburan
Sisingamangaraja tidak dipindahkan saja dari Tarutung ke Balige?! Ke kota di
mana perang Batak melawan Belanda yang terkenal itu dicanangkan. Makam di
Tarutung itu adalah kuburan untuk para tawanan Belanda. Sisingamangaraja tak
layak dikebumikan di situ.
Tak tercatat dalam
sejarah, tetapi agaknya hadirin, terutama para tokoh Batak terhenyak mendengar
kata-kata Soekarno yang menggugah itu. Orang-orang Batak yang terpukau dengan
kata-kata Soekarno itu, melalui perundingan yang menelan waktu, sepakat untuk
memindahkan tulang-belulang Sisingamangaraja ke Balige.
Setahun kemudian, tanpa
kehadiran Soekarno (dia hanya mengirimkan telegram ucapan selamat), prosesi
saring-saring, membawa tulang-belulang, Sisingamangaraja XII dari Tarutung
menuju Balige berlangsung. Ini Tanah Batak, negeri purba.Yang mistik dan yang
nyata bersatu dalam mengusung tulang-tulang sang pahlawan. Boleh percaya boleh
tidak! Sejak betolak meninggalkan Tarutung, iring-iringan yang membawa
tulang-belulang Sisingamangaraja seperti memperoleh pengawalan dari haba-haba
(angin puting beliung). Raja Martahan di Napatar, cucu tertua Sisingamangaraja
XII, yang dalam usia 12 tahun turut dalam upacara itu, mengenang, ketika
rombongan sudah mendekati Balige, angin puting-beliung berada di depan prosesi,
menyapu bersih semua kotoran yang ada di jalan. ”Haba-haba itulah yang
menunjukkan tempat yang menjadi makam Sisingamangaraja. Ini fakta, karena saya
melihat sendiri kejadian itu,” katanya.
Di kalangan orang
Batak, Sisingamangaraja XII adalah kharisma dan sumber inspirasi.
Kebijaksanaannya disanjung. Orang menganggapnya sakti, juga kebal, kecuali
ternoda darah. Banyak yang percaya, Baginda tewas di ujung peluru pasukan
Belanda karena tubuhnya bersimbah darah putrinya yang lebih dulu tertembak.
Pulang
dari Aceh
Perjalanan hidup
Sisingamangaraja XII menggetarkan. Putra Sisingamangaraja XI dari istrinya Boru
Situmorang ini semasa kecil bernama Patuan Bosar, lahir pada tahun 1849 di
Bakkara. Dia ditabalkan menjadi Sisingamangaraja XII pada tahun 1875 di
Bakkara, huta yang menjadi pusat dinasti Sisingamangaraja. Kala itu, Patuan
Bosar masih muda dan baru pulang dari Aceh Keumala mempelajari ketatanegaraan,
strategi perang dan bahasa, terutama pengenalan huruf Arab.
Dipercaya, setiap raja
dalam dinasti Sisingamangaraja, sejak raja yang pertama, apabila wafat, alam
Tanah Batak turut berduka. Musim kemarau yang panjang menyapu seluruh daratan,
menyengsarakan seluruh lahan pertanian. Dan, tentu saja membikin sengsara
penduduk yang kehilangan seorang raja. Karena itu, Sisingamangaraja yang baru
harus ditabalkan. Yang akan diangkat harus menjalani ujian, termasuk kemampuan
mendatangkan hujan, mencabut senjata pusaka Piso Gaja Dompak sambil manortor
dan dengan kesatria menyarungkannya kembali dengan mulus. Juga menjinakkan kuda
putih yang akan digunakan sebagai tunggangan resmi seorang raja.
Alam yang tersiksa,
itulah yang menerjang Tanah Batak setelah wafatnya Sisingamangaraja XI. Patuan
Bosar sebenarnya enggan untuk mengikuti ujian, karena segan pada abangnya, Raja
Parlopuk, yang dengan baik telah menjalankan roda pemerintahan kerajaan selama
amang mereka, Sisingamangaraja XI, sakit-sakitan. Lagipula, dia ingin
melanjutkan pelajarannya di Aceh. Tetapi, apapun, seorang raja baru harus
diangkat. Upacara penabalan diselenggarakan oleh Si Onom Ompu (Si Enam Marga) - terdiri dari Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanulang, Marbun dan Simamora - untuk mempersiapkan upacara margondang. Calon raja kemudian memohon kesiadaan
pargonsi (penabuh gondang) untuk memainkan gondang agar dia bisa berdoa memohon
turunnya hujan. Dia pun manortor. Biasanya, walaupun matahari panas mendenting,
kekuatan “gaib” putra raja yang sedang manortor bisa membuat langit mendung dan
hujan pun turun. Si Onom Ompu lalu menyambut hujan itu dengan seruan Horas!
Horas! Horas!
Lantas Si Onom Ompu
mengumumkan raja baru sudah ditemukan. Prosesi berikut adalah mencabut dan
menyarungkan Piso Gaja Dompak dengan mulus. Piso ini adalah salah satu warisan
dari Raja Uti, Raja Hatorusan yang sakti di Barus, pusat peradaban ketika itu.
Raja yang baru terpilih kemudian tampil dengan mengenakan Ulos Jogia Sopipot
sambil mengangkat pinggan pasu bertabur beras yang sudah di-pasu-pasu
(diberkati) beralaskan Ulos Sande Huliman.
Ketika menempuh ujian
tersebut, Raja Parlopuk memang berhasil mengundang mendung dan hujan gerimis.
Tetapi, kesaktian Patuan Bosar melebihinya. Tonggo-nya, doanya, mampu
mendatangkan mendung yang lebih tebal disertai hujan lebat dan petir yang
mengguntur. Maka jadilah dia Sisingamangaraja XII, raja yang kemudian memimpin
perang Batak selama 30 tahun (1878-1907).
Perang Batak adalah
duka dengan cerita panjang. Perang yang memakan waktu lebih dari satu generasi
itu dimulai dengan pertikaian antara Raja Pontas dengan bius-bius (kumpulan
marga-marga) di Silindung. Mereka memprotes kelakuan Raja Pontas, salah seorang
pemimpin bius, yang memberikan hak guna tanah kepada Belanda. Dengan hak guna
itu, pada tahun 1876, dengan licik dan cepat Belanda bisa menguasai Silindung.
Sebelum Belanda
menyerang Balige, Raja Pontas sempat bertemu dengan Sisingamangaraja XII.
Ketika itu Baginda langsung mempertanyakan sikap Raja Pontas yang menguntungkan
Belanda tersebut. Namun, tak dinyana, di belakang Raja Pontas, pasukan Belanda
sudah bersiap-siap melakukan penyerangan. Belanda menguasai basis logistik
Toba-Balige bulan Mei 1878 sebagai reaksi terhadap pernyataan perang
(pulas)yang dicanangkan oleh pemuka-pemuka bius pada tahun 1877 di Balige saat
berlangsungnya onan, pasar tradisional di situ.
Mata-mata
Belanda
Pada Februari 1878,
sebenarnya perang sudah pecah sebelum Belanda tiba di Balige. Hadangan pasukan
raja-raja ihutan (panutan) dari Toba beserta pasukan gabungan berbagai bius,
berhasil menahan gerak maju pasukan militer Belanda di Bahal Batu. Serangan ini
sudah berada di bawah kendali Sisingamangaraja XII dari Bakkara.
Sejak saat itu,
pertumpahan darah tak dapat dihindarkan lagi. Pertempuran demi pertempuran
terus bekecamuk. Raja Partahan Bosi Hutapea, raja ihutan dari Toba, tewas tahun
1879 di Si Raja Daeng, Laguboti. Sementara itu, dalam sebuah perlawanan yang
sengit, Guru Sumillam Tampubolon, salah seorang panglima perang
Sisingamangajara, tahun 1881 gugur di desa Lumban Julu. Anaknya, Sarbut
Tampubolon, berhasil meloloskan diri. Tampubolon kemudian sering mengadakan
kontak dengan Sisingamangaraja XII.
Serangan pertama
Belanda terhadap pusat dinasti Sisingamngaaja XII di Bakkara berlangsung 30
April 1878. Bangunan-bangunan berciri khas arsitektur Batak dan bernilai
artistik tinggi dihancurkan. Bangunan itu umumnya dihiasi seni ukir klasik
(gorga) bermotif Perbaringin, agama Sisingamangaraja.
Vandalisme kuno Belanda
ini antara lain terjadi di Lumban Raja dan Onan Bale, yang terletak dalam
kompleks kerajaan Sisingamangaraja. Rumah-rumah kerajaan juga dibombardir dan
dibakar, termasuk Ruma Bolon, Ruma Parsantian, Sopo Bolon, Tari Sopo, dan Sopo
Godang. Juga balai kerajaan, seperti Bale Pasogit, Bale Partangiangan, Patene,
dan Bale Bius. Semuanya tinggal puing-puing belaka, tak satu-pun bangunan yang
utuh, semua rata dengan tanah. Serangan yang meluluhlantakkan ini adalah
kejadian yang kedua kalinya menimpa dinasti Sisingangamaraja setelah gempuran
yang dilancarkan kaum Pidori (Perang Padri) tahun 1817.
Sisingamangaraja XII
terpaksa mengungsi berserta seluruh keluarganya ke kediaman Barita Mopol di
Huta Paung, terus menuju Lintong Harianboho. Setahun kemudian, dia baru bisa
kembali ke pusat kerajaannya di Bakkara. Membangun kembali di atas puing-puing
kerajaan. Dia giat mengadakan pendekatan dengan berbagai bius supaya ikut dalam
penyerangan terhadap kedudukan Belanda di Balige.
Serangan dilancarkan
pada bulan Juni 1883, dipimpin langsung oleh Baginda Raja. Pasukan rakyat Bona
Pasogit berbondong-bondong berkumpul di Uluan untuk membantu serangan. Sayang,
rencana serangan ini bocor karena ulah mata-mata Belanda. Ribuan barisan rakyat
gugur saat itu. Bahkan, menurut Belanda, Sisingamangaraja XII juga terluka.
Baginda Raja mundur ke Bakkara. Haus darah, kurang dari dua bulan kemudian,
Belanda kembali menyerbu Bakkara dan kembali membumi-hanguskan pusat kerajaan.
Baginda dan keluarganya kembali mengungsi ke Huta Paung, terus menuju Lintong
Harianboho. Sampai akhir 1887 pasukan Sisingamangaraja XII masih bertahan di
Hutan Paung dan Pollung. Baginda Raja memutuskan untuk menempuh taktik gerilya.
Dalam situasi yang
serba darurat, akhirnya Sisingamangaraja XII memutuskan untuk migrasi ke Dairi.
Menurut catatan, hampir seribu orang yang turut dalam migrasi yang dipimpin
Baginda, yang dibagi dalam beberapa kelompok. Di samping para pejuang dalam
rombongan itu, terdapat juga ahli-ahli pertanian, arsitek dan ahli Gorga. Dalam
hitungan minggu mereka sampai di negeri Simsim, Dairi, tepatnya di negeri Si
Onom Hudon.
Saat keluarga besar
Dinasti Bakkara beserta pasukan tiba di pedalaman Dairi, dia tidak langsung
diterima oleh masyarakat setempat. Kehidupan mereka begitu sulit. Sementara
meminta bantuan ke Silindung dan Toba Balige, yang dikuasai Belanda, sudah tak
mungkin. Pada waktu itu, misi zending telah membawa perubahan penting ke dalam
kehidupan di Toba. Beberapa pejuang yang tadinya menyokong Sisingamangaraja,
kemudian meletakkan senjata dan menerima iman dan hidup baru. Banyak pula
mata-mata yang tergiur pada hadiah yang dijanjikan Welsink kalau bisa memberikan
info mengenai keberadaan Sisingamangaraja.
Inilah masa paling
sulit bagi anggota keluarga dan pasukan Sisingamangaraja. Persediaan makanan
juga menipis. Namun, karena semangat mereka yang tinggi, dalam lima tahun
mereka sudah berhasil membangun huta yang baru di Pea Raja, lengkap dengan Bale
Pasogit, sebagai pusat kerajaan yang baru. Bercocok tanam, beternak dan
mendulang emas adalah kegiatan sehari-hari mereka. Di samping latihan perang
tentunya. Bahkan mereka berhasil membeli senjata-senjata baru. Di Si Onom Hudon
inilah putri Sisingamangaraja XII, Lopian, lahir pada tahun 1889. Putrinya ini
mewarisi karisma dan sikap kesatria dari ayahandanya.
Dia memegang peran
penting dalam menghimpun dukungan berbagai pihak di tingkat akar rumput. Lopian
yang selalu memberi semangat, saat Baginda Raja dan pasukannya dalam keadaan
tertekan depresi. Dialah putri yang selalu membesarkan hati Baginda apabila
kehilangan anggota keluarga karena tewas dalam pengungsian.
Pengkhianatan
ke Sisingamangaraja XII
Menarik untuk dicatat,
ketika di Dairi Sisingamangaraja XII didampingi oleh Nyak Muhamad Ben, panglima
perang dari Aceh yang menjadi sahabatnya ketika dia masih belajar di Aceh
Keumala. Keberadaannya di Aceh dulu, sejalan dengan rencana ayahanda
Sisingamangaraja XI, karena Aceh sedang melancarkan perlawanan terhadap
Belanda. Kehadiran para panglima dari Aceh itu dianggap Belanda sebagai usaha
untuk membangun front Batak-Aceh, satu fenomena ancaman yang sangat serius.
Perlu diingat, dengan
berdiri sendiri, tanpa bantuan pihak lain, Bakkara tak bisa mempertahankan diri
dari invasi Padri. Pendekar Aceh terkenal
teguh pada pendirian, taat beragama dan melawan terhadap sibontar mata (si mata
putih, Belanda). Merekalah yang berperan besar membentuk pasukan sukarela pendukung
Sisingamangaraja XII yang dilatih di garis belakang.
Tak terbilang berapa
jumlah pasukan Aceh yang gugur di berbagai front untuk mempertahankan
Sisingamangaraja. Hulubalang-hulubalang Aceh ini jugalah yang melatih dan
membentuk pasukan Baginda Raja. Petarung-petarung Aceh ini juga yang memaknai
apa artinya kesetian. Mereka begitu teguh pada sumpah bersama Sisingamangaraja
XII. Mereka berkaul sampai tumpas pun mereka tidak akan tunduk pada sibontar
mata.
Mereka akan tetap
bersama Baginda sampai titik darah penghabisan. Adalah Teuku Muhamad Ben, yang
terus mendampingi Baginda sejak perang 1878. Teuku Mat Sabang, Teuku Nyak
Bantal, Teuku Nyak Imun, Teuku Idris, Teuku Sagala, Teuku Nyak Umar dan masih
banyak lagi pejuang laskar Aceh yang hilang tanpa nama dalam mendukung
perlawanan Sisingamangaraja XII.
Seandainya sejak awal
perang, Raja Batak ini tidak dikhianati oleh orang-orang Batak sendiri, tentu
derita yang ditanggungkan oleh Baginda beserta keluarganya itu, tidak perlu
terjadi. Mereka tidak harus menyingkir ke Dairi. Ada sejumlah nama yang
tercatat sebagai pengkhianat Raja dari Bakkara itu, seperti Partaon Angin, Raja
Hutsa (gelar Pardopur), Ompu Onggung, Jonggi Manaor, Simonsi, Kinso, Situnggap.
Tiga yang terakhir dibunuh oleh pengawal Boru Sagala, istri Sisingamangaraja
XII.
Sebenarnya, dinasti
Sisingamangaraja tidak hanya menghadapi musuh dari luar batang tubuh kerajaan,
tetapi juga dari dalam. Adalah putra Sisingamangaraja VIII yang bernama
Gindoporang Sinambela yang kawin sedarah (incest) dengan putri dari abangnya,
Sisingamangaraja IX, bernama Gana Sinambela, sebagaimana dikisahkan MO
Parlindungan dalam bukunya yang pernah menyulut polemik, ”Tuanku Rao.”
Karena malu yang
disebabkan oleh aib itu, maka Sisingamangaraja IX mengusir mereka. Keduanya
misir (melarikan diri) ke Singkil, Aceh. Anak yang tidak diharapkan pun lahir
di sana, dan diberi nama Pongkinangolngolan. Nama ini dipilih karena lamanya
pasangan tersebut dalam pengasingan. Ketika Sisingamangaraja IX meninggal, dia
digantikan oleh putranya yang adalah adik Gana Sinambela. Sisingamangaraja X
memanggil Gana Sinambela dan Pongkinangolngolan untuk kembali ke Bakkara
setelah mereka berada di pengasingan selama 10 tahun. Namun, kedatangan mereka
ditolak oleh tiga datu besar. Datu Amantagor Manullang meramalkan, jika Si
Pongki tidak dibunuh maka sebaliknya dialah yang akan menghancurkan dinasti
Sisingamangaraja.
Sisingamangaraja tak
kuasa menolak nasihat datu tersebut. Namun, dia tak tega membunuh bere-nya
(keponakannya) sendiri. Lalu, dia bersandiwara dengan berpura-pura mengikat Si
Pongki yang baru berusia 11 tahun itu untuk ditenggelamkan ke Danau Toba. Dia
mengikatkan kayu apung di tubuh Si Pongki sembari menyelipkan koin emas ke
sakunya sebagai bekal nanti. Sebelum dilepaskan ke Danau, Sisingamangaraja X
melonggarkan ikatan yang melilit Si Pongki. Singkat cerita, Si Pongki tidak
tenggelam, tetapi terapung dan hanyut sampai ke Sungai Asahan. Dia ditemukan
seseorang yang kemudian mangangkatnya sebagai anak.
Memenggal,
menancapkan ke tanah
Pada usia 20 tahun,
Pongki mengembara ke Mandailing. Dari sini dia menyingkir ke Minangkabau karena
merasa ada yang memata-matainya. Di Tanah Minang dia bekerja pada Datuk
Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Sementara Tuanku Nan Renceh, yang
mempersiapkan gerakan Mazhab Hambali, meminta kepada Datuk untuk menyerahkan Si
Pongki supaya disekolahkan. Apalagi sudah diketahui bahwa Si Pongki adalah
keturunan Sisingamangaraja. Si Pongki kemudian dikisahkan masuk Islam, berganti
nama menjadi Umar Katab. Dia dikirim ke Mekkah dan Syria untuk menimba ilmu
agama. Di sana dia juga mengikuti pendidikan kemiliteran.
Tahun 1815, Umar Katab
pulang dari Mekkah dan ditabalkan menjadi Panglima Padri, diberi gelar Tuanku
Rao. Dari selatan, pasukan Padri mara ke utara. Serangan Padri terhadap markas
Sisingamangaraja dimanfaatkan oleh Jantenggar Siregar sebagai ajang balas
dendam terhadap dinasti Sisingamangaraja.
Konon, Raja Oloan Sorba
Dibanua, kakek moyang dari dinasti Sisingamangaraja, pernah menyerbu pemukiman
Marga Siregar di Muara. Dalam perang tanding itu klan Siregar kalah. Raja
Porhas Siregar sebagai pemimpin tewas. Sejak saat itu dendam kusumat terus
membara pada keturunan Raja Porhas Siregar.
Jatenggar Siregar
menyerang Sisingamangaraja X, memenggal kepalanya, menusuk dan menancapkannya
ke tanah. Sementara Tuanko Rao hanya berpangku tangan menyaksikan pembantaian
terhadap tulangnya itu. Ramalan Datu Bolon Amantogar Manullang menemukan
kebenarannya, bahwa Si Pongkinangolngolan akan menghancurkan dinasti
Sisingamangaraja.
Tiga puluh tahun
memimpin perlawanan terhadap Belanda, Sisingamangaraja XII sendiri wafat
melalui jalan kemuliaan. Walau kematiannya didahului oleh ”pengkhiatan
terpaksa” yang dilakukan oleh seorang Partaki, kepala huta yang terletak di
sebelah selatan Alahan. Desa tersebut diobrak-abrik pasukan Belanda, yang
antara lain terdiri dari marsose berasal dari kaum pribumi dari kepulauan
Nusantara yang lain. Partaki yang malang itu diusut, disaksa. Tak tahan, orang
ini lantas buka mulut dan menunjukkan arah persembunyian Sisingamangaraja XII.
Baginda Raja dan para
pengikutnya terjepit di satu tempat, dengan jalan lari satu-satunya hanyalah
jurang yang sangat curam dan dalam. Patuan Nagari dan Patuan Anggi, dua putra
Baginda memberikan perlawanan dengan melepaskan tembakan. Dalam tembak-menembak
itu mereka tewas.
Pasukan Belanda
menyerukan Sisingamangaraja agar menyerah. Seruan itu malah berbalas dentuman
tembakan. Jelaslah bagi pasukan yang mengejar bahwa Sisingamangaraja XII tak
mau menyerah. Dalam pertempuran jarak dekat di ambang malam tanggal 17 Juni
1907 itu, Lopian, putri kesangayangan Baginda tertembak.
Raja Sabidan, putra
Sisingamangaraja XII, yang turut dalam pertempuran tersebut, dan kemudian
ditawan Belanda, belakangan menceritakan bahwa dia melihat Baginda mendekap dan
memeluk Lopian yang bersimbah darah dengan erat-erat. Sabidan bersaksi bahwa
dalam keadaan lemah, karena sudah beberapa hari tidak makan, Baginda Raja masih
sempat berdoa : ”Ya Ompu Debata Mulajadi Na Bolon, lindunglah bangsaku ini dari
tangan musuh yang durhaka,” sebagaimana dikutip dalam ”Toba Na Sae” tulisan
penyair Sitor Situmorang. Dalam keadaan Sisingangamaraja bersimbah darah itu
muncullah marsose Hamisi, yang berdarah Maluku, melepaskan tembakan tepat
menembus jantung Sisingamangaraja XII. Dan Baginda rubuh. Usianya 59.
Di negeri yang bangkit
melawan penjajahan ini, agaknya tak ada raja yang patriotik dalam menentang
Belanda, yang telah menumpahkan darah dan pengorbanan sebesar Sisingamangaraja
XII, di mana seluruh keluarganya ikut boyong dalam perlawanan, dan malahan
gugur bersimbah darah.
Asal
Usul Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja adalah
keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat
berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan
pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles
menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai
Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung
terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari
Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti
secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus
yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.
Biografi
Sisingamangaraja XII
Salah satu pahlawan
nasional Indonesia yang gigih berperang melawan penjajah adalah
Sisingamangaraja XII. Beliau merupakan pahlawan sekaligus seorang raja dari
Toba, Sumatera Utara. Keberadaan beliau membuat penjajah Belanda yang waktu itu
berusaha menjajah Indonesia kewalahan. Sebagai seorang raja, beliau tidak mau
wilayahnya yang merdeka, subur dan makmur dijadikan kawasan penjajahan yang
kehilangan kemerdekaan.
Sisingamangaraja XII
(lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur
62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang
berperang melawan Belanda. Sebelumnya ia makamkan di Tarutung, lalu dipindahkan
ke Balige, dan terakhir dipindahkan ke Pulau Samosir.
Ia juga dikenal dengan
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya
Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut
juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di
negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu
terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di
Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian
pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini
membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda
sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik
yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli
yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Makam Sisingamangaraja
XII
Kisah Si Raja Batak terakhir ini cukup melegenda, karena keberanian dan
kesaktiannya pada saat melawan penjajah Belanda selama 30 tahun. Singamangaraja
XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di
Dairi. Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang
dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang nafas terakhir dia tetap berucap,
Ahuu Sisingamangaraja.
Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta
putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung.
Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada
22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan
dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Sisingamangaraja XII dimakamkan bersisian
dengan putra dan putrinya.
Memasuki komplek makam Sisingamarngaraja XII, kita akan menemukan banyak
terdapat rumah adat. Suasana yang teduh karena membuat makam ini selalu tampak
asri. Karena sesungguhnya kompleks makam ini merupakan Taman Makam Nasional dan
dibiayai pemerintah, maka para pengunjug tidak di pungut biaya untuk datang ke
lokasi ini. Kita bisa mengunjungi makam ini sambil mengunjungi Museum Batak
Balige.
Mungkin sedikit masyarakat yang mengetahui bahwa sesungguhnya
Sisingamangaraja XII tidak dimakamkan di Soposurung, melainkan di Tarutung,
Presiden Soekarnolah yang berinisiatif memindahkan ke Balige.
Maka pemerintah, masyarakat, dan keluarga kemudian bersepakat memindahkan
makam Sisingamangaraja XII ke Soposurung yang dikenal sekarang ini, di sanalah
Makam Sisingamangaraja XII Pahlawan Nasional dari Tanah Batak di makamkan.
Makam Sisingamangaraja XII berlokasi di Jalan Siposurung, Kecamatan
Balige, Toba Samosir, Sumatera Utara. Tempatnya tidak jauh dari lokasi Museum
Batak Belige, jarakya kira-kira 150 meter sebelum lokasi Museum Batak Balige.
Warisan
Sejarah
Kegigihan perjuangan
Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang
kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Selain itu untuk mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga
diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.
Selain itu, untuk
mengukuhkan jasa beliau sebagai seorang pelawan penjajahan, beliau dianugerahi
gelar sebagai seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang ditetapkan melalui SK
Presiden RI No 590/1961 tanggal 9 November 1961 bersama dengan beberapa
pahlawan lain seperti Oemar Said Tjokroaminoto, Kiai Haji Samanhudi, Setiabudi
dan Dr. G.S.S.J. Ratulangi.
(dari berbagai sumber)
Simon RF Siagian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar