PADA
20
Oktober 2016 pekan lalu, usianya baru mencapai 39 tahun. Yah, Nelson Tansu,
pria kelahiran, Medan, Sumatera Utara, 20 Oktober 1977 ini, sejak Juli 2003
namanya mulai diperhitungkan di Negeri Paman Sam. Dia adalah seorang akademisi
dan peneliti nanoteknologi dan optoelektronika asal Indonesia yang menjadi
tenure-track Assistant Professor di Universitas Lehigh (Lehigh University) pada
usia 25 tahun (sejak Juli 2003). Penggemar nasi Padang ini berhasil menyisihkan
lebih dari 300 doktor untuk mendapatkan jabatan Assistant Professor tersebut di
Universitas Lehigh sejak Juli 2003.
Riset Tansu adalah
dalam bidang fisika terapan (Applied Physics) terutama dalam bidang semikonduktor,
nanoteknologi, dan fotonika. Sejak April 2007 sampai April 2009, ia menjadi
Peter C. Rossin (Term Chair) Assistant Professor di Universitas Lehigh. Pada
Mei 2009 (usia 31 tahun) sampai April 2010, Tansu dipromosi menjadi Associate
Professor dengan tenure di Universitas Lehigh. Sejak Mei 2010 sampai sekarang,
Tansu dipromosi menjadi Class of 1961 Chair Associate Professor (dengan tenure)
di Universitas Lehigh.
Lahir dan besar di
Medan, Nelson Tansu merupakan putra kedua dari pasangan ayah (Almarhum) Iskandar
Tansu dan ibu (Almarhum) Auw Lie Min. Tansu menyelesaikan pendidikan dari
TK-SD-SMP-SMA di Yayasan Perguruan Sutomo 1 Medan. Tahun 1995 merupakan lulusan
terbaik SMA Sutomo I Medan.
Setelah menamatkan SMA,
ia memperoleh beasiswa dari Bohn’s Scholarships untuk kuliah di jurusan
matematika terapan, teknik elektro, dan fisika di Universitas
Wisconsin-Madison, Amerika Serikat. Tawaran ini diperolehnya karena ia menjadi
salah satu finalis TOFI. Ia berhasil meraih gelar bachelor of science kurang
dari tiga tahun dengan predikat summa cum laude. Setelah menyelesaikan program
S-1 pada tahun 1998, ia mendapat banyak tawaran beasiswa dari berbagai
perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat. Walaupun demikian, ia memilih
tetap kuliah di Universitas Wisconsin dan meraih gelar doktor di bidang
electrical engineering pada bulan Mei 2003.
Selama menyelesaikan
program doktor, Prof. Nelson memperoleh berbagai prestasi gemilang di antaranya
adalah WARF Graduate University Fellowships dan Graduate Dissertator Travel Funding
Award. Penelitan doktornya di bidang photonics, optoelectronics, dan
semiconductor nanostructires juga meraih penghargaan tertinggi di
departemennya, yakni The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award.
Setelah memperoleh
gelar doktor, Nelson mendapat tawaran menjadi asisten profesor dari berbagai
universitas ternama di Amerika Serikat. Akhirnya pada awal tahun 2003, ketika
masih berusia 25 tahun, ia menjadi asisten profesor di bidang electrical and
computer engineering, Lehigh University. Lehigh University merupakan sebuah
universitas papan atas di bidang teknik dan fisika di kawasan East Coast,
Amerika Serikat.
Saat ini Prof. Nelson
menjadi profesor di universitas ternama Amerika, Lehigh University, Pensilvania
dan mengajar para mahasiswa di tingkat master (S-2), doktor (S-3) dan post
doctoral Departemen Teknik Elektro dan Komputer. Lebih dari 84 hasil riset
maupun karya tulisnya telah dipublikasikan di berbagai konferensi dan jurnal
ilmiah internasional. Ia juga sering diundang menjadi pembicara utama di
berbagai seminar, konferensi dan pertemuan intelektual, baik di berbagai kota
di AS dan luar AS seperti Kanada, Eropa dan Asia. Prof Nelson telah memperoleh
11 penghargaan dan tiga hak paten atas penemuan risetnya. Ada tiga penemuan
ilmiahnya yang telah dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure
optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers.
Ketika masih di Sekolah
Dasar, Prof. Nelson gemar membaca biografi para fisikawan ternama. Ia sangat
mengagumi prestasi para fisikawan tersebut karena banyak fisikawan yang telah
meraih gelar doktor, menjadi profesor dan bahkan ada beberapa fisikawan yang
berhasil menemukan teori (eyang Einstein) ketika masih berusia muda. Karena
membaca riwayat hidup para fisikawan tersebut, sejak masih Sekolah Dasar, Prof.
Nelson sudah mempunyai cita-cita ingin menjadi profesor di universitas di
Amerika Serikat.
Walaupun saat ini
tinggal di Amerika Serikat dan masih menggunakan passport Indonesia, Prof.
Nelson berjanji kembali ke Indonesia jika Pemerintah Indonesia sangat
membutuhkannya. Dia sering diundang menjadi pembicara utama dan penceramah di
berbagai seminar. Paling sering terutama menjadi pembicara dalam
pertemuan-pertemuan intelektual, konferensi, dan seminar di Washington DC. Selain
itu, dia sering datang ke berbagai kota lain di AS. Bahkan, dia sering pergi ke
mancanegara seperti Kanada, sejumlah negara di Eropa, dan Asia. Yang
mengagumkan, sudah ada tiga penemuan ilmiahnya yang dipatenkan di AS, yakni
bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power
semiconductor lasers. Di tengah kesibukannya melakukan riset-riset lainnya, dua
buku Nelson sedang dalam proses penerbitan. Bukan main!!
Kedua buku tersebut
merupakan buku teks (buku wajib pegangan, Red) bagi mahasiswa S-1 di Negeri
Paman Sam. Karena itu, Indonesia layak bangga atas prestasi anak bangsa di
negeri rantau tersebut. Lajang kelahiran Medan ini sampai sekarang masih
memegang paspor hijau berlambang garuda. Kendati belum satu dekade di AS,
prestasinya sudah segudang. Ke mana pun dirinya pergi, setiap ditanya orang,
Nelson selalu mengenalkan diri sebagai orang Indonesia. Sikap Nelson itu sangat
membanggakan di tengah banyak tokoh kita yang malu mengakui Indonesia sebagai
tanah kelahirannya.
"Saya sangat cinta
tanah kelahiran saya. Dan, saya selalu ingin melakukan yang terbaik untuk
Indonesia," katanya, serius.
Di Negeri Paman Sam,
kecintaan Nelson terhadap negerinya yang dicap sebagai terkorup di Asia
tersebut dikonkretkan dengan memperlihatkan ketekunan serta prestasi kerjanya
sebagai anak bangsa. Saat berbicara soal Indonesia, mimic pemuda itu terlihat
sungguh-sungguh dan jauh dari basa-basi.
"Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang mampu bersaing dengan
bangsa-bangsa besar lainnya. Tentu saja jika bangsa kita terus bekerja
keras," kata Nelson menjawab.
Anak muda itu memang
enak diajak mengobrol. Idealismenya berkobar-kobar dan penuh semangat. Layaknya
profesor Amerika, sosok Nelson sangat bersahaja dan bahkan suka merendah.
Busana kesehariannya juga tak aneh-aneh, yakni mengenakan kemeja berkerah dan
pantalon.
Sekilas, dia terkesan
pendiam. Pengetahuan dan bobotnya sering tersembunyi di balik penampilannya
yang seperti tak suka bicara. Tapi, ketika dia mengajar atau berbicara di
konferensi para intelektual, jati diri akademisi Nelson tampak. Lingkungan
akademisi, riset, dan kampus memang menjadi dunianya. Dia selalu peduli pada
kepentingan serta dahaga pengetahuan para mahasiswanya di kampus. Ada yang
menarik di sini. Karena tampangnya yang sangat belia, tak sedikit insan kampus
yang menganggapnya sebagai mahasiswa S-1 atau program master. Dia dikira
sebagai mahasiswa umumnya. Namun, bagi yang mengenalnya, terutama kalangan
universitas atau jurusannya mengajar, begitu bertemu dirinya, mereka selalu
menyapanya hormat : Prof Tansu.
"Di semester Fall
2003, saya mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang physics and applications of
photonics crystals. Di semester Spring 2004, sekarang, saya mengajar kelas
untuk mahasiswa senior dan master tentang semiconductor device physics.
Begitulah," ungkap Nelson menjawab soal kegiatan mengajarnya. September
hingga Desember atau semester Fall 2004, jadwal mengajar Nelson sudah menanti
lagi. Selama semester itu, dia akan mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang
applied quantum mechanics for semiconductor nanotechnology.
"Selain mengajar
kelas-kelas di universitas, saya membimbing beberapa mahasiswa PhD dan
post-doctoral research fellow di Lehigh University ini," jelasnya saat
ditanya mengenai kesibukan lainnya di kampus. Nelson termasuk individu yang
sukses menggapai mimpi Amerika (American dream). Banyak imigran dan perantau
yang mengadu nasib di negeri itu dengan segala persaingannya yang superketat.
Di Negeri Paman Sam tersebut,ada cerita sukses seperti aktor yang kini menjadi
Gubernur California Arnold Schwarzenegger yang sebenarnya adalah imigran asal
Austria. Kemudian, dalam Kabinet George Walker Bush sekarang juga ada
imigrannya, yakni Menteri Tenaga Kerja Elaine L. Chao. Imigran asal Taipei
tersebut merupakan wanita pertama Asian-American yang menjadi menteri selama
sejarah AS.
Negara Superpower
tersebut juga sangat baik menempa bakat serta intelektual Nelson. Lulusan SMA
Sutomo 1 Medan itu tiba di AS pada Juli 1995. Di sana, dia menamatkan seluruh
pendidikannya mulai S-1 hingga S-3 di University of Wisconsin di Madison.
Nelson menyelesaikan pendidikan S-1 di bidang applied mathematics, electrical
engineering, and physics. Sedangkan untuk PhD, dia mengambil bidang electrical
engineering. Dari seluruh perjalanan hidup dan karirnya, Nelson mengaku bahwa
semua suksesnya itu tak lepas dari dukungan keluarganya. Saat ditanya mengenai
siapa yang paling berpengaruh, dia cepat menyebut kedua orang tuanya dan
kakeknya.
"Mereka menanamkan
mengenai pentingnya pendidikan sejak saya masih kecil sekali," ujarnya.
Ada kisah menarik di
situ. Ketika masih sekolah dasar, kedua orang tuanya sering
membanding-bandingkan Nelson dengan beberapa sepupunya yang sudah doktor.
Perbandingan tersebut sebenarnya kurang pas.
Sebab, para sepupu Nelson itu jauh
di atas usianya. Ada yang 20 tahun lebih tua. Tapi, Nelson kecil menganggapnya
serius dan bertekad keras mengimbangi sekaligus melampauinya. Waktu akhirnya
menjawab imipian Nelson tersebut.
"Jadi, terima
kasih buat kedua orang tua saya. Saya memang orang yang suka dengan banyak
tantangan. Kita jadi terpacu, gitu," ungkapnya.
Nelson mengaku,
mendiang kakeknya dulu juga ikut memicu semangat serta disiplin belajarnya.
"Almarhum kakek saya itu orang yang sangat baik, namun agak keras. Tetapi,
karena kerasnya, saya malah menjadi lebih tekun dan berusaha sesempurna mungkin
mencapai standar tertinggi dalam melakukan sesuatu," jelasnya.
Sisihkan 300 Doktor AS,
tapi Tetap Rendah Hati Nelson Tansu menjadi fisikawan ternama di Amerika. Tapi,
hanya sedikit yang tahu bahwa profesor belia itu berasal dari Indonesia. Di
sejumlah kesempatan, banyak yang menganggap Nelson ada hubungan famili dengan
mantan PM Turki Tansu Ciller. Benarkah?
Bukan
Orang Indonesia?
Nama Nelson Tansu memang
cukup unik. Sekilas, sama sekali nama itu tidak mengindikasikan identitas
etnis, ras, atau asal negeri tertentu. Karena itu, di Negeri Paman Sam, banyak
yang keliru membaca, mengetahui, atau berkenalan dengan profesor belia
tersebut. Malah ada yang menduga bahwa dia adalah orang Turki. Dugaan itu
muncul jika dikaitkan dengan hubungan famili Tansu Ciller, mantan perdana
menteri (PM) Turki. Beberapa netters malah tidak segan-segan mencantumkan nama
dan kiprah Nelson ke dalam website Turki. Seolah-olah mereka yakin betul bahwa
fisikawan belia yang mulai berkibar di lingkaran akademisi AS itu memang
berasal dari negerinya Kemal Ataturk.
Ada pula yang mengira
bahwa Nelson adalah orang Asia Timur, tepatnya Jepang atau Tiongkok. Yang lebih
seru, beberapa universitas di Jepang malah terang-terangan melamar Nelson dan
meminta dia "kembali" mengajar di Jepang. Seakan-akan Nelson memang
orang sana dan pernah mengajar di Negeri Sakura itu.
Dilihat dari nama,
wajar jika kekeliruan itu terjadi. Begitu juga wajah Nelson yang seperti orang
Jepang. Lebih-lebih di Amerika banyak professor yang keturunan atau berasal
dari Asia Timur dan jarang-jarang memang asal Indonesia. Nelson pun hanya
senyum-senyum atas segala kekeliruan terhadap dirinya.
"Biasanya saya
langsung mengoreksi. Saya jelaskan ke mereka bahwa saya asli Indonesia. Mereka
memang agak terkejut sih karena memang mungkin jarang ada profesor asal aslinya
dari Indonesia," jelas Nelson. Tansu sendiri sesungguhnya bukan marga
kalangan Tionghoa. Memang, nenek moyang Nelson dulu Hokkien, dan marganya
adalah Tan. Tapi, ketika lahir, Nelson sudah diberi nama belakang
"Tansu", sebagaimana ayahnya, Iskandar Tansu.
"Saya suka dengan
nama Tansu, kok," kata Nelson suatu ketika dengan nada bangga.
Nelson adalah pemuda
mandiri. Semangatnya tinggi, tekun, visioner, dan selalu mematok standar
tertinggi dalam kiprah riset dan dunia akademisinya. Orang tua Nelson hanya
membiayai hingga tingkat S-1. Selebihnya? Berkat keringat dan prestasi Nelson
sendiri. Kuliah tingkat doktor hingga segala keperluan kuliah dan kehidupannya
ditanggung lewat beasiswa universitas.
"Beasiswa yang
saya peroleh sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kuliah dan kebutuhan
di universitas," katanya.
Orang seperti Nelson
dengan prestasi akademik tertinggi memang tak sulit memenangi berbagai
beasiswa. Jika dihitung-hitung, lusinan penghargaan dan anugerah beasiswa yang
pernah dia raih selama ini di AS. Menjadi profesor di Negeri Paman Sam memang
sudah menjadi cita-cita dia sejak lama. Walau demikian, posisi assistant
professor (profesor muda, Red) tak pernah terbayangkannya bisa diraih pada usia
25 tahun. Coba bandingkan dengan lingkungan keluarga atau masyarakat di
Indonesia, umumnya apa yang didapat pemuda 25 tahun?
Bahkan, di AS yang
negeri supermaju pun reputasi Nelson bukan fenomena umum. Bayangkan, pada usia
semuda itu, dia menyandang status guru besar. Sehari-hari dia mengajar program
master, doktor, dan bahkan post doctoral. Yang prestisius bagi seorang ilmuwan,
ada tiga riset Nelson yang dipatenkan di AS. Kemudian, dua buku teksnya untuk
mahasiswa S-1 sudah diterbitkan.
Tapi, bukan Nelson
Tansu namanya jika tidak santun dan merendah. Cita-citanya mulia sekali. Dia
akan tetap melakukan riset-riset yang hasilnya bermanfaat buat kemanusian dan
dunia. Sebagai profesor di AS, dia seperti meniti jalan suci mewujudkan
idealisme tersebut.
Ketika mendengar
pengakuan cita-cita sejatinya, siapa pun pasti akan terperanjat. Cukup
fenomenal.
"Sejak SD kelas 3
atau kelas 4 di Medan, saya selalu ingin menjadi profesor di universitas di
Amerika Serikat. Ini benar-benar saya cita-citakan sejak kecil," ujarnya
dengan mimik serius.
Tapi, orang bakal
mahfum jika melihat sejarah hidupnya. Ketika usia SD, Nelson kecil gemar
membaca biografi para ilmuwan-fisikawan AS dan Eropa. Selain Albert Einstein
yang menjadi pujaannya, nama-nama besar seperti Werner Heisenberg, Richard
Feynman, dan Murray Gell-Mann ternyata Sudah diakrabi Nelson cilik.
"Mereka hebat.
Dari bacaan tersebut, saya benar-benar terkejut, tergugah dengan prestasi para
fisikawan luar biasa itu. Ada yang usianya muda sekali ketika meraih PhD, jadi
profesor, dan ada pula yang berhasil menemukan teori yang luar biasa. Mereka
masih muda ketika itu," jelas Nelson penuh kagum.
Nelson jadi profesor
muda di Lehigh University sejak awal 2003. Untuk bidang teknik dan fisika,
universitas itu termasuk unggulan dan papan atas di kawasan East Coast, Negeri
Paman Sam. Untuk menjadi profesor di Lehigh, Nelson terlebih dahulu menyisihkan
300 doktor yang resume (CV)-nya juga hebat-hebat. Meskipun Nelson sering
mengimplikasi kesuksesannya dalam menempuh karier sebagai akademia, Nelson
Tansu memalukan citra akademia Indonesia setelah disebut sebagai salah satu
contoh peneliti yang membludak sistem h-indeks dan citasi untuk publikasi jurnal
akademia. Nelson sengaja memasuki artikel sendiri secara berlebihan (contoh: 34
jurnal karangan sendiri dalam 41 referensi di satu publikasi). Nelson Tansu dan
Milena Penkowa disebut sebagai contoh paling terkenal secara global sebagai
akademia yang terobsesi dengan citra sendiri. Publik Indonesia banyak belum
mengetahui kondisi ini, dengan contoh banyak interview dari media di dalam
negeri yang tidak mengetahui kondisi ini.
Pendidikan
1.
Ph.D. in Electrical Engineering (Applied
Physics), September 1998 - Mei 2003, Universitas Wisconsin - Madison, Madison,
Amerika Serikat
2.
B.S. in Applied Mathematics,
(Electrical) Engineering, and Physics (AMEP), September 1995 - Mei 1998,
Universitas Wisconsin - Madison, Madison, Amerika Serikat
3.
SMA Sutomo 1, Medan, Sumatera Utara,
Indonesia (Juli 1992 - Mei 1995)
4.
SMP Sutomo 1, Medan, Sumatera Utara,
Indonesia (Juli 1989 - Mei 1992)
5.
SD Sutomo 1, Medan, Sumatera Utara,
Indonesia (Juli 1983 - Mei 1989)
6.
TK Sutomo 1, Medan, Sumatera Utara,
Indonesia (Juli 1981 - Mei 1983)
Karier
1.
Assistant Professor, Department of
Electrical and Computer Engineering, Center for Optical Technologies, P. C.
Rossin College of Engineering and Applied Science, Lehigh University, Juli 2003
- April 2007.
2.
Peter C. Rossin (Term Chair) Assistant Professor,
Department of Electrical and Computer Engineering, Center for Optical
Technologies, P. C. Rossin College of Engineering and Applied Science, Lehigh
University, April 2007-April 2009.
3.
Associate Professor (with tenure),
Department of Electrical and Computer Engineering, Center for Optical
Technologies, P. C. Rossin College of Engineering and Applied Science, Lehigh
University, May 2009-April 2010.
4.
Class of 1961 (Chair) Associate
Professor (with tenure), Department of Electrical and Computer Engineering,
Center for Optical Technologies, P. C. Rossin College of Engineering and
Applied Science, Lehigh University, May 2010-present.
Hasil
Karya Riset
1.
Lebih dari 220 publikasi jurnal dan
konferensi ilmiah internasional (February 2011) tentang semikonduktor,
optoelektronika, fotonika, dan nanoteknologi. Terutama bidang riset mencakup
fisika dan teknologi dari semikonduktor nanostruktur untuk laser, diode
pemancar cahaya, sel surya, komunikasi, energi, dan lainnya.
2.
Journal citations: > 1281 citations,
dan H-index = 22 (Self citation > 50%, Februari 2011, ISI Web of Knowledge).
3.
Delapan paten dalam bidang nanoteknologi
dan optoelektronika dari kantor paten Amerika Serikat.
(dari berbagai sumber)
Simon RF Siagian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar